Pendidikan HAM Membentuk Karakter
Generasi Bangsa
Kepala biro administrasi
pembangunan dan kerja sama rantau setprov sumbar,Dr suhermanto raza,SH,MM,kamis
(13/10) lalu berhasil menyelesaikan program doktor (S3) ilmu pendidikan pasca
sarjana Universitas Negeri Padang (UNP).
Bapak tiga anak kelahiran
padang pariaman ini, berhasil meyakinkan para penguji dan pembahas yang terdiri
dari Prof Dr Rusdinal,M.pd, Prof Jalinus Jama, M.Ed, Ph.D, dan Prof Dr
Mukhaiyar, Prof Dr Azwar Ananda, MA,edd dan Prof Dr Z Mawardi effendi. Gubernur
Sumbar Prof Dr Irwan Prayitno, Psi.Msc dalam kapasitasnya sebagai guru besar
Universitas Muhammadiyah jakarta juga hadir sebagai penguji eksternal.
Dalam ujian terbuka doktor,
penguji memberikan prediket sangat memuaskan kepada Suhermanto Raza yang
mengajukan disertasi berjudul pembelajaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Sekolah
Menengah Atas (SMA) kota padang.
Untuk mengetahui lebih jauh
bagaimana persoalan pembelajaran HAM di sekolah dan upaya mengatasinya, berikut
petikan wawancara khusus wartawan Padang Ekspres Heri Sugiarto dan Adiyansyah Lubis dengan suami gusmalinda
itu, akhir pekan lalu.
Apa yang
mendasari anda mengangkat isu HAM dalam disertsi doktor anda?
Saya memilih pendidikan HAM,
karena saya mempunyai latar pendidikan
hukum dan pernah bertugas sebagai Kepala Biro Hukum (Kabiro) Hukum di
setprov Sumbar.Selain itu, selama ini saya lihat, di indonesia khususnya di
dunia pendidikan, nilai-nilai HAM itu belum terimplementasi dengan baik.
Dalam konteks pemerintahan,
juga masih banyak kita yang belum memahami nilai-nilai tersebut. Begitu pula di
masyarakat, pemangku kepentingan bidang pendidikan serta mahasiswa sebagai
kader penerus bangsa.
Kita masih mempertanyakan
kenapa orang tidak menunaikan haknya tanpa mempedulikan hak orang lain. Dan
mengapa orang hanya membicarakan hak, tapi di sisi lain mereka tidak pernah
tahu dengan kewajibannya. Padahal antara hak dan kewajiban itu harus ada
keseimbangan.
Seperti kita ketahui
bersama, HAM adalah hak di miliki manusia anugrah dari allah tuhan yang maha
kuasa. Diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Di mana
nilai-nilai itu perlu di lindungi, di tegakkan dan harus di hormati oleh
siapapun.
Kenapa
fokus pembelajaran HAM tingkat SMA?
Pertanyaan ini sebetulnya,
juga di tanyakan oleh penguji eksternal saya. Bapak Irwan Prayitno. Saya pilih
SMA, karena saya melihat bahwa SMA adalah basic (dasar,red) untuk mendidik
kader bangsa.
Ada tiga tahap perkembangan
anak, pertama 0-6 tahun, kedua 6-13 tahun
dan ketiga 13 tahun ke atas. Untuk anak usia di bawah 13 tahun, mereka
cenderung melakukan aktivitasnya berdasar intruksi baik itu dari orang yang di
tuakan, orang tua sendiri, serta orang yang di hormatinya. Mereka cenderung
melakukan dan menjalankan perintah itu saja, tanpa bisa menilai perintah sudah
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku atau belum.
Perkembanagan kedua,adalah
ketika mereka berada berada di bangku SMA, usia 10 sampai 17 tahun. Di usia itu
banyak terjadi perubahan. secara normatif
mereka akan menjalankan setiap perintah, tapi sudah bisa menilai apakah perintah yang mereka kerjakan iti sudah
benar atau tidak. Mereka sudah dapat membedakan mana yang benar dan salah.
Kemudian perkembanagan
ketiga, ketika mereka berada di perguruan tinggi. Di sana pemantapan perilaku
untuk menjadi seorang pemimpin.kendati demikian, perkembangan di tahap ini, tidak
begitu menentukan seseorang anak dapat menjadi generasi pemimpin yang baik
seperti yang di harapkan. Mereka hanya sebatas menerapkan dan memantapkan
nilai-nilai apa yang telah di dapat selama di bangku SMA.
Nah, jika mereka di SMA
telah di tempa dengan nilai-nilai yang baik, mereka akan menjadi pemimpin yang
baik pula. Tapi jika tidak, maka dia tidak akan menjadi pemimpin yang tidak
baik pula.
Hari ini kita merasakan
imbas dari semua itu. Masih ada pemimpin yang belum menjalankan amanah, yang
masih KKN, menyalahgunakan wewenang, melanggar hukum, serta pelanggaran
lainnya. Oleh karena itu saya melihat, mereka yang berada di tinggkat SMA
itulah yang harus di bentuk. Jika mereka di SMA
dapat di bentuk dengan nilai-nilai yang bagus, saya rasa setelah tamat
di perguruan tinggi mereka bisa menjadi pemimpin yang baik.
Jadi,
bagaimana kondisi riil penerapan HAM di dunia pendidikan saat ini?
Dalam dunia pendidikan,
memang banyak yang belum berjalan sesuai nilai-nilai HAM itu sendiri. Sampai
saat ini kita masih melihat tawuran dan pelecehan seksual di kalangan pelajar.
Kita juga masih melihat perilaku sisiwa seperti “badut kelas”. Siswa yang berlaku semena-mena terhadap siswa
lainnya. Saat ini kejadian itu seperti sudah menjadi hal yang lumrah di
berbagai negara.
Dari hasil penelitian 75
persen siswa di amerika serikat (AS) banyak yang menjadi badut kelas. Siswa
yang besar mencedirai siswa yang kecil.
Di indonesia juga sudah
gejala spseperti itu. Dalam proses pembelajaran , kita sering melihat ada guru
bersikap semena-mena terhadap siswanya, bersikap diskriminatif, lebih suka
memperhatikan siswanya yang punya strata terpandang. Padahal apa yang di lakukan guru tersebut,
telah melanggar hak-hak siswa yang lain. Meskinya guru-guru menempatkan diri
pada semua siswa, tanpa membedakan dia kaya
atau miskin. Diskriminasi seperti ini tidak saja terjadi di dunia
pendidikan, tapi juga di sektor lain dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian ketika guru
terlambat, apakah ada sanksi buat guru
yang terlambat. Yang ada selama ini sanksi hanya di berikan kepada siswa saja.
Bahkan siswa harus di hukum berdiri di
depan kelas yang mengakibatkan dia harus ketinggalan pelajaran. Apakah
cara-cara ini tidak melanggar HAM namanya. Inilah yang di sebut kecelakaan
pendidikan. Selama ini guru atau kepala sekolah menerapkan peraturan yang
tegas, tapi tidak mendidik. Harusnya tegas itu mendidi, dengan memberikan
hukuman lain dengan standar yang jelas, misalnya di berikan hukuman berupa
pekerjaan rumah (PR).
Selain itu , pembelajaran yang terjadi selama ini
guru-guru lebih cenderung hanya sebatas transfer ilmu saja. Tidak pernah guru
mendiskusikan apa yang terbaik, sehingga saling mengisi dengan para siswanya. Semestinya siswa itu di
ajak dan di arahkan kepada students centre learning bukan teacher centre
learning. Siswa yang mesti mengerti akan masalahnya sendiri dan berusaha tahu
bagaimana menyelesaikan masalahnya sendiri. Itulah siswa yang kita harapkan
pada saat ini.
Agar berbagai pelanggaran
tadi tidak terjadi, maka sudah semestinya pelajaran di sekolah mengadopsi
nilai-nilai HAM. Melalui pendidikan HAM itu, mereka dapat memahami nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, antara lain nilai kejujuran dan keadilan. Tapi selama ini nilai kejujuran
dan keadilan itu belum di implementasikan dengan baik.
Kuncinya, pendidikan HAM
harus di ajarkan secara baik dan konsisten. Guru juga harus di minta harus siap
dengan konsepsinya dan siap mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam HAM
tersebut.
Dengan begitu, pembelajaran
HAM adalah menjadi sesuatu yang sangat penting untuk di lakukan dalam rangka
membentuk generasi kita bangsa kita yang berkarakter.
Kita berharap, ketika
anak-anak kita yang kita ajar hari ini suatu saat kelak dia menjadi seorang
guru, mereka itulah yang memberikan perbaikan
kepada Sumber Daya manusia (SDM) kita di masa mendatang.
Sebab, apa yang saya
tulis dalam disertasi tersebut, tidak
serta merta bisa kita dapat kita terapkan dan nikmati hari ini. Tetapi mungkin
bisa kita terapkan 5 sampai 10 tahun mendatang, karena ini butuh proses.
Apalagi, pemerintah melalui
keppres nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
Indonesia (RANHAM) sebagai bentuk penjabaran dari UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM yang diperbarui Keppres 23 Tahun 2011, telah mencoba mengakomodir
agar seluruh depertemen termasuk di pendidikan nasional, di lembaga TNI, serta
di lembaga pemerintahan, agar tidak melakukan proses hal-hal yang melanggar HAM
dan melaksanakn HAM itu dengan semestinya.
Apakah
pendidikan HAM mesti jadi mata pelajaran tersendiri?
HAM sekarang masuk
kepelajaran PPKn tapi belum optimal. Baik dari segi materinya yang belum
mantap, maupun dari sudut strategi pembelajarannya yang belum benar. Dari sudut
materinya pendidikan PPKn hanya
berlangsung 2x45 menit. Di sisi lain, yang sangat mengkhawatiran, siswa kita
sekarang punya kecenderungan mengagung-agungkan Ujian Nasional (UN). Anak-anak
mengangap pelajaran yang di UN-kan yang paling top. Akhirnya pelajaran yang
lain di abaikan. Kita terkontaminasi dalam konsep kebijakan nasional yang
salah. Karena di UN hanya di uji 3-4 mata pelajaran,maka anak-anakfokus di situ
saja. Pelajaran yang tidak UN kan seolah olah mereka abaikan. Akhirnya apa yang
terjadi, mereka tidak mau belajar dan memahami nilai-nilai yang terkandung
nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran selain yang di-UN-kan.
Di samping itu, bahasa
Negara kita sendiri, bahasa indonesia, seperti telah jadi bahasa kedua, karena
sekolah-sekolah sudah ada yang menjadi bahasa inggris sebagai pengantar. Inikan
sudah tidak benar lagi.
Zaman dulu, semua
matpelajaran di uji. Dan kita menganggap semua pelajaran yang di uji itu sama
nilainya dan sama kualitasnya. Jadi, mestinya guru atau sekolah jangan sampai
secara langsung maupun tidak langsung membentuk siswa menjadi seperti itu.
Masih soal
pendidikan. Banyak anak-anak yang tidak mendapatkan akses untuk besekolah,
bukankah kita melanggar HAM?
Dalam UU Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 itu sudah di atur.
Konstitusi kita juga sudah mengatur. Dalam UU jelas di tegaskan bahwa
pemerintah punya kewajiban menyekolahkan
rakyatnya dan rakyatnya pun punya hak unuk mengenyam pendidikan. Tidak di
bedakan anak orang miskin maupun kaya. Mereka semua punya hak yang sama mendapatkan
pendidikan. Dalam tataran implementasinya inilah yang belum mampu pemerintahan
wujudkan. Mungkin di level-level tertentu kita lihat ada
keterbatasan-keterbatasan. Jadi pemerintah mesti mengakui ketidaksanggupan itu,
pemerintah juga hars transparan dan
mencari jalan keluarnya.
Kalau memang misalnya pendidikan wajib belajar 9 tahun,
harusnya pemerintah fokus mendata dan mengajak anak-anak kita yang belum
mengenyam pendidikan itu. Anak itulah yang harus di bantu terlebih dahulu oleh
pemerintah. Jangan sampai wajib belajar 9 tahun belum tuntas, sudah buru-buru
masuk wajib belajar 12 tahun.
Harusnya di buat regulasi
seperti itu. Buat juga regulasinya untuk memaksa anaknya bersekolah, bukan
untuk di pekerjakan. Dengan begitu, masyarakat juga paham dengan hak-haknya
sebagai warga negara.
Bagaimana
dengan RSBI. Bentuk diskriminasi di sektor pendidikan?
Pemerintah membentuk
RSBI itu dengan tujuan yang baik, yakni
ingin membangun dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan, terutama anak
didik yang bermutu.
Tapi, kelemahannya yang di didik
itu hanya siswa-siswa yang bagus saja. Padahal seharusnya kewajiban kita
mendidik dan kan tidak saja orang-orang yang pandai dan pintar. Akibatnya, guru
yang mengajar pun bisa santai, karena anak-anak sudah mampu semua.
Kemudian, tarif masuk yang
telah di patok tinggi sehingga tidak semua masyarakat menjangkaunya, terutama
bagi anak-anak yang orangtuanya punya keterbatasan kemampuan,padahal mereka
adalah siswa pintar.
Masa siswa pintar di tapi
miskin di paksa juga beli laptop! Sehingga apa yang terjadi, terpaksalah
orangtuanya berutang sana-sini, atau
bahkan menjual tanah sawah yang selama ini di jadikan sumber mata pencarian
orangtuanya untuk membiayai anaknya sekolah.
Jadi jika memang RSBI adalah
sekolah unggul punya fasilitas bergengsi,
seharusnya pula pemerintah tidak membedakan atau melarang anak-anak yang
akan masuk ke sekolah itu serta menanggung sepenuhnya biaya anak-anak yang
tidak mampu.
Tidak hanya terhadap siswa.
Pemerintah juga jangan sampai mengabaikan terhadap sekolah non-RSBI. Apalagi
belakangan kita lihat, siswa berprestasi di tingkat nasional banyak berasal
dari sekolah-sekolah RSBI.
Terkenang
ketika tahun 90-an dengan progam Iman dan Taqwa (IMTAQ) yang digulirkan
pemerintah guna mensikapi perubahan paradigma perkembangan jaman yang terjadi,
maka saat inipun timbul ide yang hampir sama dengan kondisi 20 tahun yang lalu,
yaitu dengan memasukkan "Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa"
sebagai hal yang penting untuk di integrasikan pada kurikulum sekolah.
Tanpa Bermaksud
untuk apriori tentang pelaksanaan program tersebut dan bahkan sebaliknya semoga
dapat menjadi pijakan yang kuat dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) masing-masing sekolah dengan muatan pendidikan budaya dan
karakter bangsa tersebut, tidak ada salahnya untuk menyimak tulisan berikut
yang memotret keberadaan pendidikan yang akan di "create" sehingga
sesuai dengan budaya dan karakter bangsa tersebut.
Sebagai negara
majemuk, Indonesia menjadi entitas nation-state yang paling tinggi
tingkat multikulturalitasnya dibanding negara-negara lain di dunia. Takdir
sebagai bangsa multikultur tersebut menjadi sumber daya sosial potensial di
samping sumber daya alam yang juga melimpah.
Terpenting
adalah bagaimana pengelolaan sumber daya multikultur tersebut, agar mampu
memberikan vibrasi pada pembangunan peradaban bangsa. Instrumen sosial dan
filosofis yang efektif dan mampu untuk mengembangkan potensi multikulturalisme
Indonesia yaitu pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai usaha rasional, sadar
dan terencana dalam proses pembelajaran, untuk membentuk karakter peserta didik
agar mampu menggali potensi dirinya dan memiliki kualitas insan unggul. Ini
merupakan definisi umum pendidikan yang dipahami masyarakat pendidikan
Indonesia.
Lebih tepatnya
definisi yang formal (terbatas) terhadap pendidikan, karena secara kultural
(lebih luas) pendidikan merupakan sebuah proses yang panjang, seperti dalam
adagiumnya yakni pendidikan sepanjang hayat (lifelong education). Di
tengah kontroversi pelaksanaan UN, munculnya sekolah bertaraf internasional
yang menimbulkan pro-kontra, nasib guru honorer dan masalah pendidikan lainnya,
topik tentang pendidikan karakter kembali disorot oleh masyarakat pendidikan
Indonesia. Sampai-samapai dalam pidato puncak perayaan Hari Pendidikan Nasional
2010, Presiden menekankan betapa urgennya pendidikan karakter dalam membangun
watak generasi bangsa ke depan.
Pendidikan Karakter
dan Setumpuk Persoalan
Secara
historis, pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh seorang pedagog
Jerman yakni F.W. Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan sebuah
proses pengembangan watak dan kepribadian manusia yang berorientasi kepada
etis-spritual. Apakah bisa disamakan dengan konsep pendidikan akhlak mulia
(Islam), sebenarnya arah, orientasi dan esensinya sama di antara keduanya. Jadi tak perlu memang mendikotomikan antara
pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak mulia.
Diskursus
tentang pendidikan karakter sebenarnya adalah hal yang sudah lama muncul dalam
dinamika pendidikan tanah air. Baik dari segi kebijakan maupun secara sosial di
masyarakat. Namun pendidikan karakter sekarang menjadi tema sentral
diskusi-diskusi publik terkait masalah pendidikan nasional. Mendiknas, Wapres
sampai Presiden mengulang-ulang untuk mengingatkan kembali kepada masyarakat.
Pendidikan karakter adalah suatu kebutuhan, untuk membentuk watak generasi
bangsa di tengah-tengah globalisasi yang sekarang ada di depan mata. Pendidikan
karakter seakan menjadi solusi tunggal untuk membenahi sikap dan kepribadian
nasional sekarang yang mengalami disorientasi. Sebab di tengah dinamika
kehidupan bernegara seperti saat ini, ketika korupsi, pelanggaran HAM,
kekerasan, pornografi dan kejahatan moral lainnya menjadi terbuka, bahkan
dibentuk menjadi konsumsi sosial para generasi bangsa yaitu para pelajar dan
mahasiswa.
Bangsa
Indonesia menjadi sangat akrab sekarang dengan korupsi, kekerasan baik di rumah
tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Kekerasan dan korupsi
(tampak) menjadi perilaku umum bangsa Indonesia. Kekerasan telah terintegrasi
ke dalam berbagai dimensi kehidupan. Kenapa tidak? Kekerasan dalam politik,
telah dicontohkan oleh para politikus nasional dan daerah. Tak hanya itu,
“demam” kekerasan politik mengalir begitu dahsyat kepada para pendukung yang
kalah dalam Pilkada. Kekerasan ekonomi, bagaimana terjadi penggusuran secara
represif oleh aparat terhadap pedagang kaki lima, yang berbalas oleh kekerasan
lagi. Kekerasan dalam pendidikan yakni perilaku bulying dengan bentuk
tawuran antar pelajar dan mahasiswa. Benar kiranya teori spiral kekerasan D.H.
Camara.
Itulah setumpuk
tugas seorang pendidik dalam membangun karakter generasi bangsa ke depan. Tema
pendidikan karakter sebenarnya bukan lagi barang baru dalam sistem pendidikan
nasional. Dalam UU Sisdiknas secara normatif-implisit memang sudah termuat
tentang pendidikan karakter. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi semangat dan
jiwa pendidikan nasional secara insight yaitu pembangunan karakter
bangsa untuk peserta didik. Bukan pendidikan yang berorientasi kepada material
dan beragam turunanya (seperti kekuasaan, jabatan dan kekayaan).
Titik Fokus
Ada dua (dua)
hal yang seharusnya menjadi konsen pemerintah dan masyarakat pendidikan nasional.
Pertama, yaitu bagaimana format baru dan efektif untuk
mengembangkan pendidikan karakter tersebut. Orientasi pendidikan karakter yang
lebih kepada dimensi etis-profetis, spritual, nilai-nilai moral menjadi keyword
dalam pengembangannya di lapangan. Memang terjadi perdebatan apakah pendidikan
karakter itu perlu berdiri sendiri (otonom) dalam struktur kurikulum nasional.
Berarti menjadi mata pelajaran tersendiri di setiap satuan pendidikan. Atau
pendidikan karakter lebih bersifat terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya.
Dua pilihan objektif inilah yang mestinya perlu dibaca kembali, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat pendidikan nasional.
Berbicara
format, ini bukanlah hal yang mudah karena kohern dengan pelaksanaan
teknis oleh guru dan siswa di satuan pendidikan. Jika bersifat otonom, maka
kita kembali mengulang sejarah, ketika mata pelajaran agama dan budi pekerti
pernah terintegrasi dalam kurikulum nasional. Kemudian menjadi pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang substansinya adalah penanaman nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan. Namun pada akhirnya ini menjadi indoktrinasi
ideologis rezim penguasa kala itu kepada rakyat. Dalam satuan pendidikan
agamapun, dikenal pendidikan akhlak mulia yang bersifat otonom.
Jika
terintegrasi dalam mata pelajaran tertentu, sebutlah pada pendidikan agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran yang bersinggungan
secara filosofis dengan pendidikan karakter. Namun jika pendidikan karakter
”dibebankan” secara kurikulum hanya kepada kedua pelajaran ini maka bertambah
berat tentu muatannya dan akan tumpang-tindih. Itu terjadi jika kita
mempersepsikan pendidikan karakter lebih kepada formalitas-rigid an sich.
Bukan memahami bahwa pendidikan karakter adalah sebuah visi, semangat, mental
dan jiwa dari pendidikan nasional itu sendiri.
Jika memilih
bersifat otonom (seperti dalam satuan pendidikan agama yaitu pendidikan akhlak
mulia), bagaimana format dan muatannya? Tentu akan terjadi tumpang-tindih
kurikulum antara satuan pendidikan umum dengan agama, karena masing-masig
memiliki muatan pendidikan karakter tersendiri.
Kedua, yang tak kalah petingnya yaitu pendekatan yang
digunakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter tersebut. Pendekatan yang
diharapkan adalah sebuah instrumen yang efektif, bermakna dan mudah
tersampaikan ke peserta didik dan setiap komponen di sekolah. Internalisasi
nilai-nilai demokrasi, keadaban, etis-spritual, moral dan tanggung jawab menjadi
fokus utama pendidikan karakter. Maka konsekuensi logisnya adalah terciptanya
suatu school culture (budaya sekolah) yang ramah dan mengerti tentang
ke-sekolahan-nya. Budaya sekolah yang terkonstruksi harus bersifat multiarah,
yaitu suatu kombinasi horizontal antara warga sekolah, tidak terfokus hanya
pada peserta didik. Peserta didik tak lagi menjadi subjek utama sebuah proses
pembelajaran, tetapi telah meluas ruang geraknya.
Guru, peserta
didik, pegawai, petugas sekolah dan semua komponen yang ada di sekolah harus
menjadi warga yang taat (good citizen) dan menjunjung nilai-nilai.
Nilai-nilai diimplementasikan dari semua komponen, sehingga pendidikan karakter
tersebut diaplikasikan secara holistik dan bertanggung jawab. Dalam sebuah
pelajaran seorang guru bisa saja mencontohkan bahkan melakukan simulasi,
tentang nilai-nilai kehidupan yang luhur. Guru jangan lagi terfokus kepada
subjek pelajaran yang sifatnya kognitif oriented. Orientasi melulu
kepada hafalan dan ingatan akan angka-angka atau definisi. Dalam struktur ilmu,
yang mesti dipahami oleh guru yang mendidik dan siswa adalah key consep
yang menjadi kuncinya. Ini yang harus dipahami oleh pendidik, jika key
consep sudah dipahami peserta didik maka guru hanya tinggal mengarahkan
saja, sesuai dengan target/capaian mata pelajaran.
Secara teknis
seorang guru harus dibekali oleh kemampuan bukan saja mengajar dalam artian
konvensional, tetapi mampu mendidik yang menstranformasikan nilai-nilai kepada
peserta didik secara integral sesuai dengan perkembangan psikologi peserta
didik. Jika pembelajaran di kelas hanya dibatasi kepada dimensi kognitif tanpa
menghadirkan nuansa humanis dan inklusif. Maka pembelajaran di sekolah tak
ubahnya seperti pabrik yang membuat produk melalui proses mekanis. Pembelajaran
yang bermakna (meaningfull learning) yaitu ketika tranformasi
nilai-nilai kebaikan (good values) terjadi secara continue.
Fungsi pendidikan karakter yang ingin mengantarkan peserta didik menjadi
manusia yang berbudaya dan memiliki otonomi. Dalam konteks Indonesia karakter
kuat seperti inilah yang perlu ditampilkan dalam wajah budaya bangsa saat ini.
Pendidikan karakter yang humanis dan inklusif tadi tidak terbatas pada
ruang-ruang kelas dalam pendidikan formal.
Pendidikan
karakter harus memiliki daya resonansi bahkan episentrum dari berbagai dimensi.
Oleh karena itu, perlu beragam pendekatan yang dilakukan, tidak hanya dari segi
pendidikan formal an sich. Namun yang paling penting dipahami dan
disadari oleh masyarakat pendidikan nasional adalah, pendidikan karakter adalah
sebuah visi, semangat, mental dan jiwa dari pendidikan nasional itu sendiri.
Yang inhern tertanam dalam semangat setiap mata pelajaran, tidak
didomestifikasi kepada mata pelajaran tertentu.
Membangun karakter bangsa melalui pendidikan
Untuk
menjawab fenomena itu, mengapa harus ke pendidikan? Dari banyak literatur ada
bukti, perilaku masyarakat
amat erat kaitannya
dengan tingkat
pendidikannya. Teori keterkaitan
perilaku masyarakat dengan
tingkat pendidikan menjadi tidak sepenuhnya
berlaku. Yang bisa
dijadikan instrumen untuk menjelaskannya tampaknya
adalah peranan pendidikan
dalam membangun karakter
bangsa (character building).
Sayang, sudah lebih
dari setengah abad
kita merdeka tampak sekali bahwa pembentukan karakter bangsa dalam arti
yang sebenarnya tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Lebih jelas
lagi selama 32
tahun Orde Baru mengendalikan negara dengan ciri yang
sentralistik, pertumbuhan ekonomi dijadikan sebagai fokus
pembangunan, perbedaan dijadikan
barang tabu, kawalan
"siaga" senjata
dipakai sebagai legitimasi
atas nama stabilitas
untuk pembangunan.
Pendidikan tidak diletakkan
dalam konteks investasi
strategis sehingga biaya pendidikan selalu
dibuat minim, selalu
di bawah 10
persen dari APBN.
7 Konsekuensinya, dampak negatif
pada lambatnya pengembangan
nilai-nilai dalam membangun karakter
bangsa.
Dalam
kondisi ini, secara tidak sadar masyarakat tergiring menjadi "manusia robot".
Pada saat yang bersamaan muncul sifat serakah, keinginan jalan pintas dalam
memecahkan persoalan hidup,
kurang sensitif terhadap
kelompok masyarakat lain yang
sedang menderita, dan
sebagainya. Semua itu
karena terdorong kuat
oleh dampak pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang dipatok
tinggi, yang pada gilirannya menuju
ke arah budaya
konsumerisme. Gap kaya-miskin
menjadi sangat lebar. Ketidakpuasan
timbul di mana-mana. Krisis
ekonomi menjalar cepat pada krisis
politik. Dari sisi sosilogi
pembangunan, meminjam thesis
Rostow yang menekankan pada
pendekatan prasyarat pembangunan
sehingga muncul lima tahap pembangunan itu,
sangat jelas bila
dipakai untuk memahami fenomena
yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya itu. Jadi
lengkap sudah. Dari
kacamata ini, tidak terlalu keliru bila kerusuhan yang
berujung pada gejala disintegrasi bangsa akhirnya bersumber dari lemahnya
pendidikan dalam membentuk karakter bangsa.
Dalam konteks
memahami fenomena itu,
menarik apa yang
disarankan Unesco bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a)
belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan
(c) belajar untuk hidup bersama (learn
to live together). Unsur pertama dan kedua lebih
terarah membentuk having, agar
sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur
ketiga lebih terarah
being menuju pembentukan karakter
bangsa. Kini, unsur itu menjadi
amat penting. Pembangkitan rasa
nasionalisme, yang bukan ke arah
nasionalisme sempit; penanaman
etika berkehidupan bersama,
termasuk berbangsa dan bernegara;
pemahaman hak asasi manusia
secara benar, menghargai
perbedaan pendapat, tidak memaksakan
kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan
lingkungan dan sebagainya,
merupakan beberapa hal
dari unsur pendidikan melalui belajar
untuk hidup bersama.
Pendidikan dari unsur
ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-kanak
hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu
saja diperlukan.
Apakah
pendidikan sekarang ini belum memberikan
unsur itu. Secara materi, yang
tertuang dalam kurikulum,
mungkin sudah. Namun
dalam konteks proses pendidikan untuk membentuk karakter
bangsa secara benar,
tampaknya selama ini kurang
atau bahkan tidak diperhatikan
dengan saksama. Sebagai contoh pendidikan Pancasila yang diwujudkan
dalam mata ajaran sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penyampaian
yang serba verbalitas,
secara signifikan tidak
akan pernah membentuk karakter
bangsa. Berbagai persoalan
yang ada, akhirnya
cenderung dibenahi di perguruan
tinggi. Mata kuliah seperti ilmu
sosial dasar, etika akademik, agama
dan Pancasila bahkan
sampai dituangkan dalam
kurikulum selama dua semester di banyak perguruan tinggi.
Pelurusan benang
merah mulai pendidikan
dasar sampai perguruan
tinggi perlu segera dimulai.
Tiga unsur pendidikan
yang harus ada
seperti disarankan Unesco, perlu
dijabarkan dalam kurikulum mulai dari
tingkat sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Pembenahan
bukan berarti harus
merombak kurikulum. Bisa dengan cara melakukan revitalisasi
isi pelajaran dan metode pengajaran. Revitalisasi isi pelajaran
dan metode pengajaran dalam
implementasinya harus
mencoba untuk memadukan antara teori dan
aplikasi, teks dan konteks.
Implementasi kurikulum
dalam pembelajaran selama
ini berjalan dikotomi (terjadi pemisahan antara teori dan
praksis/ apa yang diajarkan di institusi pendidikan kadang bertentangan
dengan realita kehidupan)
terjadinya diktomi ilmu
dan pengetahuan inilah yang
memunculkan berbagai problematika
dalam pendidikan. Pendidikan yang
hanya dilaksanakan untuk memenuhi
tuntutan yang bersifat formal
dan mengabaikan idealisme
yang mencerminkan proses-proses
pemenuhan tugas-tugas kemanusian.
menurut hemat penulis menyebabkan pendidikan kita kehilangan ruh kebenaran.
1 komentar:
Posting Komentar